Artinya:
“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh karena itu hendaklah mereka bertaqwa kepada Allah dan hendaklah mengucapkan perkataan yang benar”. (An-Nisaa ‘ ayat9).
Kita bersyukur kepäda Allah yang menciptakan hari Jum’at di antara hari-hari dalam satu minggu. Dan hari Jum’at merupakan forum pertemuan, sekaligus meìaksanakan jama’ah Shalat jum’at, untuk berdzikir mengingat Allah SWT. Sebagaimana disebutkan dalam surat Al Jumu’ah ayat 9:
Artinya:
“Hal orang-orang yang beriman apabila diseru untuk menunaikan sembahyang pada han Jum ‘at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih balk bagimu jika kamu mengetahui”. (‘Al-Jümu’ah: 9).
Jadi hari Jum’at adalah forum zikrullah (ingat kepada Allah) yang waktunya ketika matahari berada di tengah tengah langit. Kita tinggalkan segala kegiatan keduniaan menuju satu titik sentral mengingat Allah (zikrullah).
Ada dua syarat untuk mengingat kepada Allah, yakni berzikir dan berfikir. Dengan ingat (zikir) itu menjadi modal untuk berfikir menatap alam yang Allah sediakan untuk masa depan. Para ahli mengatakan bahwa masa yang kita alami sekarang ini sangat berlainan dengan masa yang akan dialami
generasi-generasi setelah kita nanti. Apalagi pengaruh masuknya kebudayaan-kebudayaan asing yang membawa dampak, terutama kepada para remaja dan generasi muda penerus masa depan bangsa. Untuk menentukan generasi pada masa akan datang, kita ikuti do’a yang pernah dilakukan Nabi Zakariya :
Artinya:
“Di sanalah Zakariya mendo ‘a kepada Tuhannya seraya berkata: ‘Ya Tuhanku, berilah aku dan sisi Engkau seorang anak yang baik. Sesungguhnya Engkau Maha Pendengar Do‘a”. (All ‘Imran: 38).
Jadi ada dua istilah yang diungkapkan dalam Al-Qu'an, yakni Durriyyatan Thayyibah (generasi yang baik) dan Durriyyatan Dli’afan (generasi yang lemah). Dan kita dianjurkan agar niemilih atau menentukan generasi kita generasi yang baik (Durriyyatan Thayyibah).
Nabi Muhammad menafsirkan Durriyyatan Thayyibah dengan sabdanya yang artinya: “Apabila mati anak Adam, maka putuslah amalnya, kecuali tiga perkara, pertama: Shadaqah jariyah, kedua: Ilmu yang bermanfaat, dan ketiga: Anak yang saleh yang mau mendo’akan orangtuanya”.
Dengan demikian jalan satu-satunya untuk membentuk Durriyyatan Thayyibah adalah dengan memfungsikan pendidikan agama kepada anak-anak kita, sebab kekhawatiran pengaruh arus modernisasi, infonnasi dan globalisasi terhadap generasi sesudah kita pada masa yang akan datang tetap menghantui kita. Yang akan menderita dan menjadi korban zaman adalah anak keturunan kita. Alhamdulillah kita sudah beriman, insya Allah kita selamat dan pengaruh itu, tetapi bagaimana dengan anak-anak kita, karena merekalah yang akan menghadapi masa yang akan datang.
Pendidikan-pendidikan formal belum menjamin pembentukan jiwa keagamaan seorang anak, apalagi di sekolah-sekolah yang hanya dua jam pelajaran dalam satu minggu. Oleh karena itu agar kita mampu membentuk Durriyatan Thayyibah, kita harus fungsikan lingkungan rumah tangga menjadi pendidikan non formal keagamaan untuk anak-anak kita.
Kita didik anak-anak kita beragama dan hidup beragama dalam lingkungan rumah tangga, menuju terciptanya ikiim beragama dalam rumah tangga. Sabda Nabi Muhammad, bahwa ciri rumah tangga sakinah adalah terciptanya keluarga beragama dalam rumah tangga. Beragama Islam, ber-Tuhan Allah Rabbul-’Åalamiin, beribadah dan berdo’a kepada-Nya, sehingga ruh yang tertiup dalam rumah tangga itu ruh uluhiyah (ruh ketuhanan), bukan nih syaithaniyah (nih kesetanan). Ruh Uluhiyah (nih ketuhanan) adalah mewujudkan ruh agama di dalam rumah tanga dengan memberikan contoh tauladan yang baik kepada anak-anak kita, bailc berupa perkataan maupun perbuatan.
Ketauladanan merupakan pendidikan yang paling baik dalam pendidikan keagamaan di rumah tangga, misalnya; untuk mendidik agar anak rajin melaksanakan ibadah shalat, ajaklah anak bersama-sama mengerjakan shalat setiap datang waktu shalat. Kalau kita menghendaki anak kita berperilaku yang balk, maka berikanlah contoh perilaku yang baik.
Saidina Ali bin Abi thalib mengatakan: “ ‘Allimuu aulaadakum fainnakum khuliqu lizammaanin ghairi zamaa nikum”. Artinya: “Berilah ilmu pengetahuan kepada anak anakmu, karena mereka di jadikan oleh Allah satu masa yang bukan zaman kamu lagi”.
Anak-anak kita hidup di masa depan, bukan di masa kini, maka berikanlah kepada mereka pendidikan untuk menatap masa depan. Satu-satunya jalan untuk menyelarnatkan mereka adalah dengan memberikan agama semenjak dini.
Sebetulnya pendidikan agama sudah ada ketika anak dalam kandungan ibu, ÿakni adanya pengenalan Tuhan Allah. Kemudian ketika anak itu lahir juga dikenalkan dengan Tuhan, dengan membacakan adzan di telinga kanan bayi dan membacakan iqomah di telinga kin bayi. Dengan demikian nilai-nilai keagamaan sudah tertanam dalam diri seorang bayi, tinggal bagaimana memberikan pendidikan keagamaan selanjutnya, setelah bayi itu menginjak anak-anak, remaja dan dewasa.
Kalau pendidikan agama bisa kita tanamkan kepada anak-anak kita sejak dini , insya Allah kita seperti apa yang menjadi- do’a Nabi Zakariya, meninggalkan generasi yang tangguh, kuat aqidahnya dan kekhawatiran kita meninggalkan generasi yang lemah tidak akan terjadi. Sehingga yang masuk surga bukan hanya kita, tetapi juga anak-anak kita dan generasi penerus masa depan.
Artinya:
“Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami, Isteri Isterl kami, keturunan kami sebagai penyenang hati (karni), dan jadikanlah kami imam bagi orang orang yang ber takwa”. (Al-Furqan 74).
Sumber : Khutbah Jurn’at pada tanggal 17 Januan 1992 di Kantor Punt BRI